“ Templast “ Berdaya Kantong Plastik
“Templast Sampah” tak hanya menjadi tiket yang menerbangkan perancang, Bharoto Yekti, ke Sydney, Australia, tetapi berhasil menyisihkan sekitar 1.400 rancangan lain yang mengikuti kompetisi Black Innovation Awards 2009. “Templast Sampah” sebuah ranvangan sederhana, tetapi cerdas mengakali besaran lubang permukaan tempat sampah.
Selama ini, kata Bharoto, kita selalu memberi lapisan plastik pada tempat sampah di dalam ruangan. Tetapi, jika kebetulan kantong plastik yang kita ambil lebih kecil ukurannya dari lubang permukaan tempat sampah, maka kita harus memilih kantong plastik batu. “Nah, sering kali kantong plastik yang salah ambil itu kita simpan seenaknya, tidak lagi dilipat rapi,” tutur Bharoto, Jumat (16/10), seusai menyaksikan shooting acara The New Inventors di stasiun televisi ABC Australia.
Selama ini, kata dosen First Media Design School Jakarta ini, sehari-hari di rumah ia memang bertugas membuang sampah dan kemudian mengganti kantong plastik pelapisnya. “Saya selalu kesulitan menemukan kantong plastik yang ukurannya sesuai dengan tempat sampahnya,” tambah dia. Kesulitan itulah yang kemudian memacunya berinovasi menemukan cara praktis melapisi tempat sampah dengan kantong plastik.
“ Kebetulan ada kompetisi Black Innovation Awards, saya coba saja untuk ikut,” ujar Bharoto. Ia kemudian membuat rancangan berupa lingkaran dari yang terbesar sampai terkecil yang menutupi lubang permukaan tempat sampah. Dengan cara itu, plastik sekecil apa pun pasti bisa dimanfaatkan sebagai pelapis tempat sampah. “Tinggal menyesuaikan dengan ring yang tersedia saja,” kata Bharoto. Bharoto memberi nama temuanya sebagai “Templast Sampat” atau “Tempat Plasti Sampah”.
Terhadap rancangan ini, Herris Satya dari Megapro Communications yang menjadi pelaksana kompetisi inovasi tersebut mangatakan, “Dewan juri memilih itu karena dinilai sederhana, bermanfaat, sekaligus penemuan genius.”
Herris mengatakan, animo mengikuti kompetisi terus meningkat sejak diadakan tiga tahun lalu. Tahun 2007 jumlah rancangan yang iktu serta sekitar 500, kemudian menjadi 714 pada tahun 2008. “Tahun 2009 menjadi lebih dari 1.400 karya. Ini artinya inovasi dalam produk sebenarnya dilakukan banyak orang, Cuma jarang dikompetisikan,” kata dia.
Saat ini Bharoto Yekti sedang menjajaki pematenan temuannya untuk kemudian mencoba bekerja sama dengan dunia industri agar bisa diproduksi massal. “Saya juga ingin karya saya bermanfaat bagi banyak orang, bukan ditemukan untuk kemudian hanya disimpan. Kita harus belajar banyak soal ini dari Australia,” tutur Bharoto.
Sumber : Kompas, 25 Oktober 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar