Pages

Kamis, 17 Desember 2009

CerIta BiJaK

TONG SAMPAH

       Seorang pria tua yang bijak memutuskan untuk pensiun dan membeli rumah mungil dekat sebuah sekolah SMP (Sekolah Menengah Pertama). Selama beberapa minggu ia menikmati masa-masa pensiunnya dengan tenang dan damai. Kebetulan saat itu sedang masa libur sekolah.

      Tak berapa lama kemudian, masa sekolah pun tiba. Dan sekolah itu pun penuh dengan anak-anak lagi. Suasana tenang dan nyaman menjadi sedikit berubah. Namun yang paling menjengkelkan Pak Tua adalah, setiap hari ada tiga anak laki-laki lewat di depan rumah yang suka memukuli tong sampah yang ada di pinggir jalan. Mereka membuat keributan sepanjang hari dan berulah seolah-olah menjadi pemain perkusi yang hebat. Begitu terus dari hari ke hari. Sampai akhirnya Pak Tua merasa harus melakukan sesuatu pada mereka.

     Keesokan harinya, Pak Tua keluar rumah sambil tersenyum lebar menghampiri tiga anak laki-laki yang sedang asyik memukuli tong sampah. Ia menghentikkan permainan mereka, kata Pak Tua kepada anak-anak itu, “Hai, anak-anak! Kalian pasti suka bersenang-senang. Saya suka sekali dengan cara kalian bersenang-senang seperti ini. Sewaktu saya masih kecil, saya juga suka bermain-main seperti kalian. Naha, apakah kalian mai saya beri uang?”

“Mau...mau...” jawab ketiga anak itu serempak.

“Oke, begini,” Pak Tua itu tersenyum. Lalu ia mengeluarkan tiga lembar uang ribuan dari sakunya. Katanya, “Masing-masing dari kalian akan saya beri uang seribu, tapi kalian harus berjanji mau bermain-main disini dan memukuli tong sampah ini setiap hari-nya.”
    Anak-anak itu senangnya luar biasa. Sejak itu setipa hari nya mereka “bekerja” memukuli tong sampah itu dengan penuh semangat.
   Beberapa hari kemudian, Pak Tua itu menghampiri dan menyambut “pekerjaan” mereka dengan penuh senyum. Namun kali ini senyumnya tampak agak sedih. Katanya, “Nak, kalian tahu-kan situasi krisis akhir-akhir ini membuat uang pensiun saya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.” Ia menarik nafas dalam-dalam. Anak-anak itu menunggu apa yang ingin diucapkan Pak Tua selanjutnya. Lajut Pak Tua, “Mulai hari ini saya hanya bisa membayarkalian lima ratus saja (Rp 500,-) unutk tugas kalian memukuli tong sampah ini.”
   Anak-anak itu tampak kecewa dengan keputusan Pak Tua, namun mereka masih bisa menerimanya. Lalu mereka melanjutkan tugas mereka membuat keributan sepanjang hari.
    Beberapa hari kemudian, Pak Tua itu dengan wajah memelas mendekati anak-anak yang sedang memukuli tong sampah. Katanya, “Maaf, bulan ini saya belum menerima kiriman uang pensiun. Saya hanya bisa memberi kalian bertiga seribu Rupiah saja.”
    “Apa...? Seribu untuk bertiga?,” protes pemimpin pemain tong sampah itu. “Apa Pak Tua kira kami ini mau menghabiskan waktu kami disini hanya untuk uang segitu? Ah, yang benar saja! Pak Tua ini tidak masuk akal. Mulai hari ini kami tidak mau lagi melakukan tugas ini lagi. Kami keluar.” Ketiga anak lelaki iru pergi meninggalkan Pak Tua dengan bersungut-sungut.
    Dan, sejak hari itu Pak Tua menikmati ketenangan hingga akhir hayatnya.
    Kita sering mencampr-adukkan kegembiraan hati dengan “uang/gaji”. Seringkali kita kehilangan keceriaan hanya kerena kita menganggap “keceriaan” itu adalah senuah pekerjaan yang dibayar. Bila “bayarannya” berkurang, maka kesenangan pun menjadi berkurang pula. Akankah kita merelakan kegembiraan kita menghilang di balik beberapa lembar uang/ gaji belaka?

Sumber : Elsye dari berbagai sumber dan dikutip dari Nafiri Oktober 2009

1 komentar:

  1. hoaaaaoooo,,,, artikel yang menarik wen,,


    PS : comment bLog gw dunk wen,,waLo dalem nya gag penting,,haha


    btw td pas w mw comment,,kyna kotak komentar loe rada error d,,coba loe bula blog lo tanpa login trs coba login,,bener gag kt gw itu,,
    ini gw bisa krn pke sswt cara

    BalasHapus